[Solider|Warita Desa] 12 difabel, 10 di antaranya tuli, dua lainnya cerebral palsy dan double handicap (tuli dan netra) melakukan kegiatan ekstrim yaitu menyelam. Setiap penyelam didampingi oleh empat orang pendamping sekaligus intruktur profesional, rescue atau penyelamat, ahli teknik, serta penerjemah bahasa isyarat.
Tim pendamping menjelaskan berbagai hal kepada para penyelam. Bagaimana cara menggunakan alat, kode-kode saat kaca mata pengaman kemasukan air, saat telinga mendapatkan tekana udara, saat semuanya baik-baik saja atau ada masalah di dasar air, kode saat harus naik dan turun. Perbedaan cara berkomunikasi antara penyelam tuli dan tim pendamping betul-betul harus dipahami tuli sebelum menyelam.
Menit demi menit pun berlalu, satu persatu difabel penyelam menunjukkan kemampuannya. Semua berhasil menyelam dan kembali ke permukaan dengan ceria. Debar cemas itu sontak berubah menjadi kebahagiaan dan kebanggaan bagi para penyelam, seluruh tim dan para pendukung. Dunia bawah air itu menjadi pengalaman pertama bagi sebagian besar penyelam difabel. Keberhailan itu sekaligus membuktikan pada dunia bahwa difabel adalah orang yang mampu. Bahwa menyelam adalah salah satu wisata air yang dapat dinikmati oleh siapa saja.
Kegiatan unik ini dilaksanakan oleh ‘Diveable’, bekerja sama dengan Dinas Pariwisata Yogyakarta dan Asita Jogja. Bertajuk Diving with Deaf (menyelam bersama tuli), kegiatan digelar di Kolam Renang Hotel Tentrem, Minggu (1/12/2019). Mengkampanyekan barrier free tourism (pariwisata tanpa hambatan) menjadi salah satu tujuan. Selain itu, kegiatan menyelam ini juga dalam rangka memperingati Hari Difabel Internasional 2019 yang diperingati setiap tanggal 3 Desember, dengan inisiator
Walkingwalking.com ini.
Hak segala bangsa
Meyra, Ketua Diveable menjelaskan even menyelam bersama tuli ini merupakan yang pertama kalinya di Indonesia. Sejumlah korporasi di Daerah Istimewa Yogyakarta dikatakannya mendukung kegiatan ini. PT. Angkasa Pura, Asosiasi Pengusaha Pariwisata (Asita) Jogja, Sentral Selam Indonesia, tenaga medis dari beberapa rumah sakit, adalah beberapa korporasi yang memberikan dukungan penuh.
“Meskipun kegiatan menyelam ini memungkinkan untuk dilakukan oleh para penyandang disabilitas, namun banyak sekali hal-hal teknis yang disiapkan sesuai dengan standar diving yang berlaku secara internasional sehingga kegiatan ini aman. Dan menyelam bersama tuli ini sangat luar biasa. Menyelam adalah hak segala bangsa,” ujarnya kepada Solider (1/12).
Meyra menambahkan, hal-hal teknis yang dilakukan untuk mendukung acara ini di antaranya menyiapkan peralatan selam yang disesuaikan untuk setiap peserta selam. Memberikan informasi lengkap mengenai cara pemakaian alat selam dan pendampingan oleh instruktur profesional yang khusus menangani diving untuk difabel.
“Diharapkan dengan terselenggaranya acara ini, mampu memperkenalkan wisata bawah air kepada semua orang terutama kepada para penyandang disabilitas. Dukungan dari masyarakat juga sangat diperlukan sehingga kita semakin sadar akan hak berwisata bagi semua orang dan berlomba-lomba untuk berkontribusi mewujudkan kesetaraan bagi semua khususnya dalam bidang pariwisata,” jelas Meyra.
Meyra menggaris bawahi bahwa olahraga menyelam memungkinkan dilakukan oleh para difabel. Namun demikian banyak hal teknis sesuai standar internasional yang harus dipersiapkan.
Afandi Junaidi, kepala instruktur menjelaskan bahwa alat menyelam yang sesuai dengan kebutuhan harus betul-betul dipersiapkan. Hal ini terkait dengan kondisi beragam para penyelam.
Pengalaman menerjemahkan yang paling berat dirasakan oleh para Juru Bahasa Isyarat (JBI). “Ini pengalaman jadi juru bahasa isyarat terberat. Soalnya harus mengikuti para penyelam. Tetapi sangat menyenangkan,” ujar Aditya.
Para tuli penyelam pun mengungkapkan kebahagiaan mereka. “Menyelam ini adalah yang pertama kalinya bagi saya. Akhirnya bangga dan bahagia mendapat kesempatan langka ini,” ujar Alim yang diakui oleh penyelam tuli lainnya.[]
Untuk artikel inklusi lainnya si